Sabtu, 04 Februari 2012

Wayang=Budaya Universal Kita!!

Wayang berasal dari kata wayangan  yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang. Pada awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah 'hyang', itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun 'merti desa' agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala malapetaka.

Pada tahun (898 - 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (terjemahan kasaran-nya kira-kira begini : menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara). Di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi). Pada masa raja darmawangsa, 996 - 1042 M, mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna, lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga, sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya. Menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi, (saya juga tidak tahu, apa arti 'kertas jawi' ini ) dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian.

Masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat 'naik'-nya pamor tokoh 'dewa' yang kini 'ditempatkan' berada di atas 'hyang'. Abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa 'sekularisasi' wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua. Kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa, dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 - 1550 M ).Tternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam, maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong,wayang berkarya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang, dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara). Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya, sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan, sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan, sunan kudus kebagian tugas men-dalang 'suluk' masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha.
Wayang ternyata kaya dengan unsur - unsur budaya universal. Unsur budaya universal melekat dalam wujud ide atau kepengetahuan, sosial, dan fisik. Penggiat Budaya di Yayasan Kertagama Jakarta, Sri Tedy Rusdy menjelaskan, wayang mengandung tujuh isi universal yakni sistem religi, sosial, pengetahuan, ekonomi, bahasa, seni, dan teknologi. Sistem religi dalam wayang,lanjutnya, membentang sejak sistem religi animisme-dinamisme,fetisisme,
tata alam sakral, Hindu,hingga Islam. "Bahkan sistem religi ini bisa mengatasi konsepsi-konsepsi agama," papar Sri dalam seminar dan pagelaran Wayang Purwa di Yogyakarta, Rabu(25/1)
Ia melanjutkan, sistem sosial dalam wayang terepresentasikan dalam sistem tata pemerintahan dan sistem tata masyarakat. Kemampuan dalang dalam memanfaatkan peluang sangat potensial untuk wahana kesadaran masyarakat dalam memaknai demokrasi, egalitarianisme, dan isu-isu terkini. Wayang pun, katanya lagi, mengajarkan masyarakat untuk menguasai pengetahuan dan teknologi. "Kita bisa melihat cerita Gatot Koco yang bisa terbang, Antareja yang masuk bumi,dan lainnya," tambah Sri.
Bahkan, isu gender dalam pendistribusian sistem mata pencaharian pun juga terinspirasi oleh tokoh Srikandi, Drupadi, dan tokoh perempuan lainnya. Sementara itu kaitannya dengan unsur bahasa, wayang pun menggunakan bahasa multilingual. Ada bahasa Jawa kuno, Jawa baru, bahkan bahasa asing. Mengingat wayang kaya akan unsur budaya universal, maka wayang mampu mengatasi persoalan global saat ini. Wayang pun dilestarikan karena telah diresmikan UNESCO pada tahun 2003 sebagai warisan dunia. "Wayang sebagai sumber inspirasi kearifan lokal di tengah budaya kontemporer," tutup Sri.
Tak hanya sebatas itu saja, ternyata wayang tak hanya peninggalan budaya Indonesia semata. Wayang memiliki nilai-nilai penting yang sangat berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan teknologi di Indonesia.
"Wayang memiliki nilai keteguhan, kebersamaan, toleransi, tangguh, tegas, kebersamaan, dan lainnya yang sangat efektif untuk memberikan pendidikan karakter bangsa," ujar Dekan Fakultas Filsafat UGM, Mukhtasar Syamsuddin, dalam seminar wayang di Yogyakarta, Rabu(25/1).
Pendidikan karakter lewat wayang, lanjutnya, akan sangat efektif untuk pengembangan iptek di Indonesia. Karena pengembangan iptek saat ini tidak dilandasi dengan karakter asli Indonesia atau mengangkat nilai kultural.Pendidikan karakter lewat wayang ini akan diusulkan UGM lewat kurikulum filsafat wayang. Filsafat wayang ini tidak hanya diperuntukkan untuk perguruan tinggi, namun juga dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan atas.
"Kami akan usulkan mata kurikulum filsafat wayang ini pada Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Saat ini, kurikulum pendidikan karakter belum banyak yang menyentuh nilai kultural," tambah Mukhtasar.
Pendidikan karakter lewat wayang ini, kata Mukhtasar lagi, merupakan salah satu upaya pelestarian wayang. 
Sumber: Kompas Gramedia

0 komentar:

Posting Komentar