Sabtu, 04 Februari 2012

Lahan Magrove Mulai Kritis

Indonesia dengan 16.000 pulau dan 95.000 kilometer lebih garis pantainya memiliki delapan juta hektar hutan bakau--yang terluas di dunia. Namun, separuh dari total delapan juta hektare itu telah beralih fungsi, dan separuh wilayah lainnya kritis. Ini dikatakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Menurut Zulkifli, dewasa ini sedikitnya 1,6 hektar area hutan bakau atau mangrove di berbagai daerah dalam kondisi kritis. 
"Hanya 2,4 juta hektar yang masih bagus," imbuhnya. Padahal tujuh lokasi hutan mangrove Indonesia menjadi percontohan di lingkup ASEAN. Meski hampir setengah dari total luas dalam kondisi rusak atau kritis, sementara setengahnya mengalami perubahan fungsi.
"Sebagian rusak karena ketidaktahuan masyarakat, di antaranya yang terkonversi menjadi tambak-tambak ikan. Ini tentunya harus menjadi perhatian kita semua, pemahaman fungsi bakau ini yang harus diketahui oleh masyarakat," tutur Zulkifli.
Saat ini dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS). Akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan oleh bagian dinas yang membidangi kehutanan di pemprov dan pemerintah kabupaten/kota.

Hutan bakau umumnya tumbuh di lahan di mana terjadi endapan lumpur dan zat-zat organik akibat gerusan aliran air, endapan dari berbagai material lumpur, sampah organik, dan sisa vegetasi secara akumulatif. Sehingga membentuk suatu dangkalan yang kemudian akan meluas dan seiring waktu ditumbuhi bakau jenis Avicennia Alba dan Rhizophora Apiculata. Lahan hutan bakau di pesisir pantai pun merupakan ekosistem penyambung antara ekosistem darat dengan ekosistem lautan.

Pada dasarnya hutan bakau mempunyai tiga fungsi utama, yakni fungsi fisik menjaga garis pantai agar tetap stabil dari pengaruh gelombang, mengendalikan abrasi atau intrusi air laut. Sedangkan fungsi biologisnya adalah sebagai tempat pemijahan, pencarian makan, dan perkembangbiakan. Dan terakhir berfungsi secara ekonomis.

Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh proses-proses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut, sedangkan batas wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.

Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Kota-kota yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata (ekoturisme).

Dalam merehabilitasi mangrove yang diperlukan adalah master plan yang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan).

Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
  1. Habitat satwa langka
    Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
  2. Pelindung terhadap bencana alam
    Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
  3. Pengendapan lumpur
    Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
  4. Penambah unsur hara
    Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
  5. Penambat racun
    Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif
  6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
    Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
  7. Transportasi
    Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
  8. Sumber plasma nutfah
    Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
  9. Rekreasi dan pariwisata
    Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove. Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhk`n perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
  10. Sarana pendidikan dan penelitian
    Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
  11. Memelihara proses-proses dan sistem alami
    Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
  12. Penyerapan karbon
    Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
  13. Memelihara iklim mikro
    Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
  14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
    Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.
  15. Hutan Mangrove bagi sistem perikanan
    Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragamjenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.
  16. Nilai Ekonomis Hutan Bakau
    Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove (bakau) ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah, kata Asisten Deputi Urusan Eksosistem Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup, Dr LH Sudharyono. Berdasarkan hasil analisa biaya dan manfaat terhadap skenario pengelolaan ekosistem mangrove disarankan skenarionya : 100 persen hutan mangrove tetap dipertahankan seperti kondisi saat ini, sebagai pilihan pengelolaan yang paling optimal, kenyataannya, telah terjadi pengurangan hutan mangrove, di Pulau Jawa, pada tahun 1997 saja luasnya sudah tinggal 19.077 ha (data tahun 1985 seluas 170.500 ha) atau hanya tersisa sekitar 11,19 persen saja.
    Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha menjadi hanya 500 ha (8 persen), kemudian di Jabar, dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha. Sedangkan di Jateng, tinggal 13.577 ha dari 46.500 ha (tinggal 29 persen). Sementara luas tambak di Pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jabar (50.330 ha), Jateng (30.497 ha), dan di Jatim (47.913 ha).
    Dikhawatirkan apabila di waktu mendatang dilakukan ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove atau terjadi pengrusakan dan penyerobotan lahan hutan mangrove, maka kemungkinan besar akan sangat sulit untuk mendapatkan hutan mangrove di Jawa, bahkan didaerah manapun di Indonesia ini.
Sumber: Kompas Gramedia

0 komentar:

Posting Komentar