Jumat, 11 November 2011

Indahnya Jadi Apoteker


A.    Industri Farmasi Indonesia
Indonesia adalah negara terpadat ke-empat di dunia. Profil demografis negeri ini relatif muda, kendati demikian pertumbuhan penduduk juga relatif  tinggi yang semakin meningkatkan tekanan finansial pada sumber daya kesehatan. Meskipun memiliki populasi yang besar, nilai pasar farmasi Indonesia masih sangat rendah.


Populasi penduduk usia -65 tahun tercatat  hanya di atas 5% dari total penduduk. Indikator kesehatan yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir menjadi pertanda yang baik bagi pembangunan ekonomisebagai suatu sumber kesehatan yang makin menguat. Dari model belanja Business Monitor International (BMI) yang dilaporkan pada Mei 2010, menunjukkan bahwa pasar farmasi di Indonesia akan bernilai Rp 81,03 milyar pada 2019. Dipicu oleh adanya ledakan ekonomi, inflasi yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang signifikan, dan meningkatnya anggaran kesehatan pemerintah.

Situasi ini menjadi peluang bagi industri farmasi untuk memanfaatkan pasar lokal. Namun bagi perusahaan asing, mereka terbentur oleh policy di lingkungan bisnis yang 'proteksionis', prevalensi dari obat palsu dan penetapan harga tidak transparan dan pembayaran kembali.
Pada 2008 penjualan sektor farmasi di Indonesia, meningkat 9,05% mencapai nilai Rp 26,89 milyar, membuat Indonesia menjadi salah satu pasar farmasi dengan pertumbuhan tercepat di Asia.

Namun, penjualan obat turun mencapai 2,32% pada tahun 2009, sebagai akibat menurunnya permintaan ekspor negara selama terjadi krisis ekonomi global. Diperkirakan akan terjadi pertumbuhan yang lebih baik pada tahun berikutnya, karena pengaruh menguatnya mata uang Rupiah 10,89% dari rata-rata per tahun 2009-2014 dan 10,35% dari rata-rata per tahun selama 2014-2019. Peningkatan belanja fiskal dan tumbuhnya keterlibatan pemerintah pada sektor farmasi akan meng-untungkan industri farmasi.
Pada 2007, Indonesia menghabiskan sebesar 2,48% dari PDB untuk kesehatan, nilai ini lebih rendah dari standar regional dan global. Dari jumlah ini US$ 10,73 milyar, hanya lebih dari setengah dihabiskan oleh negara.

Pada 2014, diharapkan pemerintah dan keseluruhan bidang perawatan kesehatan masing-masing men-capai US$ 22,38 milyar dan US$ 33,43 milyar.

Penguatan rupiah cenderung menguntungkan industri farmasi asing. Diperkirakan kurs Rupiah terhadap Dollar AS menguat dari Rp 9,685,- per US$ 1 pada 2008, menguat lagi menjadi Rp 8,375,- per US$ 1 pada 2014, dan Rp 7,875,- per US$ 1 pada 2019. Sementara pasar farmasi lokal akan mencatat angka 10,89% rata-rata pertahun selama 5 tahun terkait mata uang lokal, angka yang sesuai untuk dolar AS adalah 15,35%.

Situasi Makro Ekonomi
Ekonomi Indonesia kian meningkat dibanding pada Q4 2009, dengan pertumbuhan riil PDB 5,4% per tahun dan menguat 4,5%. Prospek pertumbuhan Indonesia selama tahun mendatang, proyeksi pertumbuhan secara riil PDB mencapai 5,2% pada 2010, akan meningkat menjadi 5,5% pada 2011.

Pendorong utama dari pertumbuhan pasar domestik di masa mendatang terkait dengan demografi Indonesia; meningkatnya rata-rata harapan hidup, memicu peningkatan penyakit degeneratif dan meningkatkan permintaan untuk obat-obatan gaya Barat. Di sisi lain, Indonesia masih mengalami masalah karena penyakit menular (terutama demam berdarah dan malaria), situasi diperparah oleh akses terbatas pada obat-obatan.

Ini juga telah mendorong pertum-buhan dalam penggunaan dan popularitas obat-obatan herbal, yang diharapkan dapat menjadi pesaing bagi obat bebas selama tahun-tahun mendatang.
Selain itu, meskipun kawasan ini merupakan salah satu pasar obat terbesar, belanja kesehatan pemerintah Indonesia yang kecil dari negara-negara tetangga, memaksa pasien untuk membayar sendiri biaya kesehatannya. Konsekuensinya, obat resep akan rentan terhadap kemerosotan ekonomi, serta meningkatkan gelombang obat palsu dan rendahnya daya beli penduduk.

Faktor Kunci Pertumbuhan Industri
Prioritas pemerintah termasuk regulasi restrukturisasi peraturan dan mendorong FDI, dengan rencana mengurangi lamanya waktu persetujuan lisensi produksi atau perdagangan dari 150 hari untuk 30 hari. Meskipun, banyak dari restrukturisasi yang saat ini masih di atas kertas, belum semuanya terealisasi akan menunda setiap peningkatan dalam investasi asing, ditandai di sektor ini dalam jangka pendek.
Selain itu, berlaku Undang-Undang Investasi yang diwarnai kontroversi akan membatasi FDI.

Secara keseluruhan, belum tampak kemungkinan adanya perbaikan yang signifikan dengan peraturan sampai harmonisasi regional ASEAN berlangsung sepenuhnya. Namun demikian, perusahaan farmasi lokal dapat mulai merasakan manfaat dari penurunan tarif baru untuk bahan baku. Tarif impor sebanyak 11.171 produk di berbagai kelompok industri termasuk farmasi telah diturunkan sebagai upaya negara mematuhi Free Trade Area. Tugas berat baru itu akan selesai 5% dan proses tersebut diselesaikan pada 2010.

Reaksi Para Pebisnis
Beberapa produsen lokal senang bahwa mereka akan mendapat sumber bahan baku lebih murah, meskipun yang lainnya merasa khawatir bahwa pasar domestik akan semakin terkena dampak persaingan. Suatu ukuran proteksionis yang telah diusulkan untuk mempertahankan struktur tarif pada API, namun tetap melindungi industri lokal terhadap impor obat jadi.

Pemerintah telah mengumumkan bahwa mereka menawarkan insentif pajak kepada sejumlah investor baru dan sektor industri. Fasilitas ini akan ditawarkan kepada perusahaan untuk membangun pabrik baru atau perluasan usaha di sektor kimia, petrokimia dan industri farmasi. Pemerintah yakin bahwa ini selanjutnya dapat mendorong investasi asing, dengan rencana lainnya yang bertujuan menarik modal asing termasuk usulan penghapusan industri farmasi dari daftar 'investasi negatif'.

Perkiraan Perdagangan Farmasi
Nilai impor farmasi Indonesia mencapai US$ 215.9 juta pada tahun 2008, sebagian besar perusahaan asing mencapai pasar melalui produk impor. Selain itu, sekitar 95% dari 1.300 bahan baku (API) yang digunakan untuk pembuatan obat di Indonesia adalah impor. Harga bahan baku merupakan masalah karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang fluktuatif.

Untuk mengamankan pasokan biaya rendah API, industri farmasi milik pemerintah Kimia Farma dan Indofarma menandatangani kontrak dengan pemasok API asal Cina secara aktif memberikan antibiotik masal. Industri farmasi India juga tertarik untuk memperluas pasarnya di Indonesia, dimana mereka sudah eksis melalui produk yang masuk sebagai re-export dari Singapura. Mayoritas ekspor India ke Indonesia untuk bahan baku adalah penting, karena Indonesia memiliki ketergantungan hampir sepenuhnya.

Namun demikian, prevalensi warga negara Cina di Indonesia berarti bahwa negara itu memiliki bisnis dan ekonomi yang lebih besar hubungan dengan Cina. Ini berarti bahwa produsen generik Cina, dalam jangka panjang tampak lebih diposisikan untuk memenuhi permintaan generik murah untuk dipasokan di negeri ini.

Sementara itu, nilai sektor farmasi di Indonesia dalam hal kemudahan pembentukan perusahaan patungan untuk pengujian kualitas obat tumbuh mencapai US$ 255 juta. Merupakan kebutuhan vital bagi pembeli di pasar negara maju.

Di Indonesia, PT Pharma Kinetika salah satu perusahaan pengujian obat untuk bioavailabilitas, jumlah obat yang mencapai aliran darah dan bioekivalensi, yang menetapkan apakah obat-obatan generik memiliki sifat yang sama dengan produk originator. Perusahaan patungan itu dibuat oleh Innogene Kalbiotech di Indonesia dan Info Kinetics dari Malaysia, dan berbasis di Jakarta.

PT Pharma Kinetics akan didukung oleh PT Pharma Metric Labs, perusahaan bioavailability/-bioequivalence yang didirikan oleh Innogene Kalbiotech tahun 2005. Permintaan untuk layanan
yang disediakan oleh PT Pharma Kinetics cenderung meningkat dengan cepat selama 18 bulan selanjutnya.

The Sectoral Mutual Recognition Arrangement untuk inspeksi Good Manufacturing Practice (GMP) untuk produsen obat dirancang untuk melancarkan perdagangan obat-obatan antara negara anggota ASEAN. Regulator obat suatu negara akan menyetujui pabrik obat dan sebuah sertifikasi akan diterima oleh negara-negara sesama ASEAN, dengan demikian mengurangi risko duplikasi usaha. Implementasi secara penuh diharapkan dapat terlaksana pada bulan Januari 2011.

Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa penjualan obat asing buatan Indonesia akan mencapai US$ 266.8 juta pada 2014, dengan rata-rata penjualan tahunan sebesar 13,59% dalam dolar AS.
Harmonisasi ASEAN juga akan berpotensi men-dorong ekspor, meskipun rencana pengurangan tarif  menjadi nol - pada obat-obatan yang masuk ke Indonesia juga akan meningkatkan persaingan yang timbul dari impor.

Menurut United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Trade) mitra kerjasama ekspor obat terkemuka di Indonesia adalah Thailand, disusul oleh India dan Korea Selatan. Sebagian besar perdagangan obat generik murah, meningkat-kan value chain dan mencapai margin yang lebih besar. Industri farmasi Indonesia juga berpeluang menjual lebih banyak produk mereka ke negara-negara maju, seperti tetangga Australia.

Ekspor Obat
Terutama obat generik, secara historis tercatat merupakan bagian kecil dari penjualan industri domestik. Indonesia mengekspor berbagai jenis obat, walaupun secara umum murah seperti produk berbasis OTC, analgesik dan vitamin.

Namun ekspor saat ini terhambat oleh kurangnya investasi R&D, walaupun usaha patungan dengan perusahaan multinasional berpotensi meningkat secara signifikan untuk memperbaiki situasi.

Pasar obat-obatan herbal tradisional juga bisa membuktikan jalan untuk pertumbuhan ekspor, dengan perdagangan telah menjadi senilai Rp 2 trilyun pertahun dan kebanyakan mencapai Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong, serta Timur Tengah dan Rusia.

Perkiraan Data Kesehatan lainnya
Ada kemungkinan perusahaan asing berinvestasi di suatu negara jika lingkungan bisnisnya kondusif, dengan investasi seperti membawa perangkat ekspansi berskala yang lebih besar. Sementara skenario seperti itu sedang didorong oleh usulan penghapusan industri farmasi dari daftar 'investasi negatif', di sisi lain posisi perusahaan asing di Indonesia terancam oleh penegakan persyaratan baru yang mereka harus memiliki fasilitas produksi lokal.

Aturan baru itu telah mempengaruhi 13 dari 29 perusahaan asing yang beroperasi di negeri ini, dengan kemungkinan penarikan produk oleh 13 perusahaan yang mempunyai dampak signifikan pada pasar.

Sementara beberapa kekurangan obat-obatan bisa diharapkan, kesenjangan kemungkinan besar akan diisi oleh produk pesaing,  yang dipasarkan oleh industri farmasi baik asing dan domestik.

Namun demikian, dampak undang-undang tersebut belum sepenuhnya dapat diperkirakan. Mengingat sifat perusahaan yang berbasis penelitian, perusahaan yang paling terpengaruh oleh perubahan yang melibatkan produk bermerek yang dipatenkan, nilai-nilai akan turun dalam jangka pendek jika produk ditarik tanpa diganti.

Banyak kalangan yang mencurigai bahwa langkah ini bernuansa politik dan perusahaan multinasional terkena dampak. Namun demikian, potensi pasar di Indonesia sangat penting, mengingat jumlah penduduk yang besar dan tingkat konsumsi saat ini rendah.

Sektor ekspor juga memungkinkan lebih meluas secara cepat dari yang diperkirakan, sebagaian produsen dapat memodernisasi industrinya dan memperkuat kehadirannya di pasar regional untuk bersaing dan mengambil keuntungan lebih lanjut dari negara yang mata uangnya melemah.



B.    Investasi Sektor Industri Farmasi  

Tahun 2011 ini, investasi farmasi ditargetkan meningkat 50%-60% dibandingkan proyeksi tahun lalu, dari US$ 500 juta menjadi US$ 750 juta – US$ 800 juta, seiring rencana kebijakan pemerintah memberi peluang kepemilikan asing sebesar 100%. Dengan kebijakan baru itu, prinsipal farmasi multinasional akan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi sehingga berimplikasi meningkatkan teknologi di sektor ini dan bisa menurunkan harga obat menjadi lebih murah.

Sri Indrawati, Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes RI, mengharapkan investasi yang siap masuk akan kapasitas produksi obat nasional akan bertambah terutama untuk obat etikal yang belum diproduksi di dalam negeri, seperti obat kanker, jantung, dan diabetes. Masyarakat akan lebih mudah memperoleh obat yang dibutuhkan.

Perkiraan investasi senilai US$ 750 - 800 juta itu merupakan asumsi dari pembangunan pabrik farmasi. Untuk pembangunan pabrik pengemasan, membutuhkan investasi sekitar US$ 250 juta. Pembangun pabrik dengan produksi penuh (hulu ke hilir/full production), nilai investasinya bisa mencapai US$ 500 juta. "Tergantung produksi dan jenis obatnya," katanya. Menurut Sri Indrawati, jenis obat menentukan besaran investasi yang akan dialokasikan untuk pembangunan pabrik.

Direktur Eksekutif IPMG, Parulian Simanjuntak menjelaskan jika obat resep untuk penyakit modern seperti kanker, jantung, dan diabetes bisa diproduksi di dalam negeri, masyarakat tidak perlu lagi membelinya ke luar negeri. Pada 2010, pasar farmasi domestik diproyeksikan mencapai Rp 32,9 triliun, naik 11% dibandingkan 2009 sebesar Rp 29,7 triliun. Pertumbuhan pasar farmasi lokal rata-rata 11% per tahunnya diatas pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada 2010, produsen farmasi asing mendapat omset Rp 6,9 triliun. Sedangkan pangsa pasar produsen farmasi lokal Rp 26 triliun atau 79%. Pangsa pasar industri farmasi asing menurun 16% sepanjang lima tahun terakhir. (dbs)



C.    Pertumbuhan Pasar Farmasi Domestik
Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi memprediksi penjualan obat resep (ethical) pada tahun ini mencapai Rp 20,9 triliun, meningkat 13,34% dibandingkan tahun lalu Rp 18,44 triliun. Proyeksi pertumbuhan penjualan obat resep tahun ini lebih tinggi dibandingkan 2010 yang meningkat 10,88% dari 2009.

Pasar farmasi Indonesia tumbuh rata-rata per tahun atau compounded annual growth rate (CAGR) 11% sejak 2003 sampai estimasi 2010. Pada tahun ini pasar farmasi nasional diestimasikan mencapai Rp 38 triliun - Rp 39 triliun, naik 14,7% dibandingkan 2010. Pasar obat resep diperkirakan akan menembus Rp 20,9 triliun, sementara pasar obat bebas mencapai Rp 16,7 triliun.

Porsi penjualan obat resep terhadap total pasar farmasi nasional stagnan 56% sepanjang tiga tahun terakhir. Pada 2009, pasar farmasi nasional mencapai Rp 29,71 triliun dan porsi penjualan obat resep 56% atau senilai Rp 16,63 triliun. Pada 2010, pasar farmasi nasional naik menjadi Rp 32,9 triliun, sedangkan porsi obat resep tetap 56%.

Menurut Anthony Charles Sunarjo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi, kenaikan pasar farmasi tahun 2011 dipicu oleh peningkatan konsumsi produk farmasi yang selaras dengan proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 234 juta jiwa pada 2010, meningkat menjadi 237 juta jiwa, pada 2011.

Anthony mengatakan,"Peningkatan penjualan obat etikal akan menguntungkan produsen farmasi seperti Kalbe Farma, Dexa Medica Group, dan Sanbe Farma.

Data yang dirilis oleh Intercontinental Marketing Services Health (IMS Healt) per Juni 2010, penguasaan pasar di segmen etikal adalah Kalbe Group (14%), Dexa Medica Group (7%), Sanbe (6%), Pfizer Group (4%), Sanofi Aventis Group (4%), Fahrenheit (4%), dan Novartis Group (4%).

PENINGKATAN UTILITAS
Melihat pangsa pasar dan adanya tren peningkatan penjualan obat resep yang menjanjikan, sejumlah produsen farmasi berupaya meningkatkan utilisasi pabrik di Indonesia. Banyak pelaku industri farmasi memperkirakan tren kompetisi di segmen obat resep semakin ketat di awal tahun.
 

Seiring kenaikan permintaan produk farmasi, terutama obat resep, empat emiten farmasi, yakni Pyridam Farma, Kimia Farma, Kalbe Farma, dan Pfizer, Sanofi Aventis menargetkan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang atau utilisasi pabrik meningkat 3%-10%. Bahkan Pfizer telah menargetkan kapasitas produksi akan ditingkatkan hingga dua kali lipat selama dua tahun mendatang. Sementara Sanofi Aventis meningkatkan hingga 44,5%.

KALBE FARMA
Perusahaan terbesar asal Indonesia ini mentargetkan utilisasi pabrik pada 2011 mening-kat 10% dibandingkan tahun lalu, dari 70% menjadi 80%. Upaya itu dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan obat resep, nutrisi, dan produk kesehatan di pasar domestik dan ekspor.

Menurut Direktur Keuangan Kalbe Farma, Vidjongtius, untuk mendukung upaya tersebut, perseroan menganggarkan dana belanja modal (capex) sebesar Rp 650 miliar, naik 44% dibanding 2010 yakni Rp 450 miliar. "Dana capex tahun ini dikeluarkan dari kas internal perusahaan," ujarnya.

Peningkatan utilisasi itu dilakukan antara lain dengan membangun tiga unit pabrik obat resep dan menambah kapasitas pabrik yang ada. Dari penambahan tersebut, segmen obat resep ditargetkan berkontribusi sebesar 25% terhadap pendapatan.

Dari peningkatan utilisasi, perusahaan menargetkan pendapatan konsolidasi pada 2011 meningkat hingga 10%-15%, dari proyeksi 2010 sebesar Rp 10,1 triliun - Rp 10,2 triliun menjadi Rp 11 triliun - Rp 11,5 triliun.

Upaya itu dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan obat resep, nutrisi, dan produk kesehatan di pasar domestik dan ekspor.

Porsi penjualan obat resep Kalbe Farma sebesar 26% terhadap total pendapatan, atau senilai Rp 1,91 triliun. Sementara kontribusi penjualan obat resep Kimia Farma sebesar 56% terhadap total pendapatan.

Pasar obat resep di Indonesia rata-rata tumbuh 11% per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) selama periode 2006 hingga proyeksi 2010. Kapitalisasi pasar obat resep juga naik, dari Rp 14,03 triliun pada 2006 menjadi Rp 21,14 triliun pada 2010.

Sampai dengan kuartal III 2010, segmen obat resep menyumbang 26% terhadap pendapatan Kalbe atau senilai Rp 1,91 triliun. Pembangunan tiga pabrik itu akan mendorong produksi obat Kalbe dari 3 miliar tablet tahun lalu menjadi 3,5 miliar tablet tahun ini. Dari segmen obat resep, saat ini Kalbe memproduksi 83 produk lisensi, 249 jenis produk generik bermerek, dan 41 produk obat generik.

PT PFIZER INDONESIA
PT Pfizer Indonesia tidak ketinggalan perusahaan multi nasional ini melaporkan akan menaikkan kapasitas pabrik obatnya di Bogor Jawa Barat, hingga dua kali lipat. Dari 100 juta tablet per tahun menjadi 200 juta tablet per tahun selama dua tahun ke depan.

Ekspansi Pfizer ini dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan obat terutama obat resep di pasar domestik, Indonesia.

Public Affair Communication Director Pfizer Indonesia, Chrisma Albanjar menjelaskan dengan adanya peningkatan kapasitas pabrik, perseroan menargetkan kenaik-an penjualan dan pangsa pasar produknya di Indonesia. Penjualan Pfizer diproyeksikan mencapai Rp 853 miliar dengan pangsa pasar 4,3% pada 2010.

Berdasarkan data IMS Health per Juni 2010, Pfizer termasuk dalam empat pemain terbesar obat resep di Indonesia. Pemain utama di segmen obat resep adalah Kalbe Group dengan pangsa 14%, Dexa Medica Group (7%), Sanbe (6%), Pfizer Group (4%), Sanofi Aventis Group (4%), Fahrenheit (4%), dan Novartis Group (4%).

PYRIDAM FARMA
Perusahaan multi nasional PT Pyridam Farma Tbk juga menargetkan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang atau utilisasi pabrik meningkat hingga10% seiring naik-nya permintaan produk farmasi di pasar domestik. Dibandingkan tahun 2010, kenaikan direncanakan dari 80% menjadi 90%. 
Sekretaris Perusahaan Pyridam Farma, Ryan Arvin, menjelaskan saat ini perseroan masih menghitung besaran investasi yang dibutuhkan untuk peningkatan utilisasi itu. "Pada akhir kuartal I 2011 baru bisa ditentukan berapa dana yang dibutuhkan untuk peningkatan tersebut," katanya.

Peningkatan utilisasi pabrik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan farmasi di Indonesia, khususnya di segmen obat etikal yang selama ini menjadi fokus bisnis perseroan.

Perseroan ini telah mematok target pendapatan pada 2011 sebesar Rp 167 miliar, meningkat sekitar 15% dibandingkan proyeksi tahun lalu Rp 145 miliar. Peningkatan utilisasi dilakukan seiring rencana peluncuran obat baru pada 2011 untuk mengejar target pendapatan. "Rencananya akan kami luncurkan 3 sampai 5 produk obat baru pada 2011," tambah Ryan.

SANOFI AVENTIS
Sanofi meningkatkan kapasitas produksi sebesar 44,5% dari 90 juta tablet di 2010 menjadi 130 juta tablet. Plant Director Sanofi-Aventis, Mohammad Sumarno menjelaskan peningkatan produksi tersebut seiring rencana perusahaan melakukan ekspansi pasar ekspor ke Australia dan Selandia Baru pada tahun ini. “Sebanyak 40 juta tablet baru yang kami produksi pada tahun ini seluruhnya diekspor ke Australia dan Selandia Baru," ujar Sumarno.

Perseroan yang berkantor pusat di Pulo Mas, Jakarta dengan luas lahan 33000 m² ini menilai Australia sebagai pasar ekspor yang prospektif untuk obat bebas. Sanofi telah memperoleh izin peredaran obat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Australia (Terapeutic Good Agency/TGA) sejak Maret 2010. Ekspor ke Australia dan Selandia baru akan dimulai pada Maret 2011. Penetrasi pasar ke dua negara tersebut ditargetkan akan memperbesar pangsa pasar ekspor obat bebas milik perseroan. Selama ini pangsa pasar ekspor terbesar Sanofi untuk obat bebas adalah Thailand dan Vietnam.

Sementara pangsa pasar ekspor terbesar produk Sanofi di segmen obat resep adalah Thailand dan Kamboja. Dari total penjualan Sanofi-Aventis Indonesia, komposisinya 50% untuk domestik dan 50% ekspor.

KIMIA FARMA
Kimia Farma menargetkan utilisasi pabrik meningkat 3% dibandingkan tahun lalu, dari 75% menjadi 78%.

Direktur Utama Kimia Farma, Syamsul Arifin, menjelaskan peningkatan utilisasi pabrik akan berdampak pada kenaikan produksi yang akan meningkatkan pendapatan perseroan. Pada tahun ini, Kimia Farma menargetkan pendapatan mencapai Rp 3,25 triliun, naik 4,8% dibanding proyeksi 2010 yakni Rp 3,1 triliun.

Peningkatan utilisasi pabrik tahun ini juga didukung order produk farmasi dari pemerintah pada kuartal III dan IV 2011. Proyek pengadaan produk farmasi dari pemerintah akan menyumbang 30% dari total produksi perseroan tahun ini. Saat ini kapasitas produksi Kimia Farma untuk obat generik mencapai 65%, sementara 35% sisanya merupakan produksi obat bebas (OTC) dan obat resep.

Berdasarkan laporan keuangan Kimia Farma yang belum diaudit, pada 2010 laba bersih perseroan tumbuh 61,44% menjadi Rp 100,9 miliar dibandingkan 2009 sebesar Rp 62,5 miliar. Pada 2011, perseroan menargetkan laba bersih sebesar Rp 153,4 miliar.

Kimia Farma mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 51,8 miliar pada 2010, meningkat dibandingkan 2009 sebesar Rp 34,1 miliar.

TARGET INVESTASI DI SEKTOR FARMASI

Terkait dengan Investasi, sektor farmasi pada 2011 ditarget-kan meningkat dari US$ 500 juta menjadi US$ 750 juta – US$ 800 juta, atau 50%-60% dibandingkan proyeksi tahun lalu, seiring rencana kebijakan pemerintah melonggarkan kepemilikan asing dari 75% menjadi 100%.

Sebagaimana dikatakan Menteri Kesehatan RI, Endang R Sedyaningsih bahwa dengan kebijakan baru itu, prinsipal farmasi multinasional akan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi sehingga berimplikasi meningkatkan tekno-logi di sektor farmasi. Harga obat resep pun diharapkan bisa menjadi lebih murah.

Diharapkan, untuk selanjutnya kapasitas produksi industri farmasi nasional akan terus bertambah terutama untuk obat resep (etikal) yang belum dibuat di dalam negeri, seperti obat kanker, jantung, dan diabetes.

Direktur Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kemen-terian Kesehatan RI, Sri Indrawati, mengatakan investasi yang siap masuk akan memacu penambahan pasokan obat nasional, dengan demikian masyarakat bisa lebih mudah untuk memperoleh obat yang dibutuhkan. Jenis obat yang diusulkan untuk dibuka investasinya yaitu obat resep yang
belum diproduksi di Indonesia, seperti obat kanker, jantung, dan diabetes.

Perkiraan investasi yang akan masuk sebesar US$ 750 juta hingga US$ 800 juta, perkiraan ini diasumsikan dari pembangunan pabrik farmasi. Jika perusahaan membangun pabrik pengemasan saja, maka investasi yang dibutuhkan sekitar US$ 250 juta. Sedangkan bagi perusahaan yang membangun pabriknya dari hulu ke hilir dengan produksi penuh (full production), nilai investasinya bisa mencapai US$ 500 juta. "Tergantung produksi dan jenis obatnya," lanjut Sri Indrawati.

Sri Indrawati juga menjelaskan bahwa jenis obat pun menentukan besaran investasi yang akan digulirkan oleh perusahaan untuk membangun fasilitas produksi. Ia mengatakan bahwa investasi untuk satu jenis produksi akan lebih murah dibandingkan pembangunan pabrik yang memproduksi tiga jenis obat.

3 komentar: